Tuesday, November 15, 2011

INDUSTRI MUSIK TAK JELAS, BAND-BAND LABEL BUBAR !

INDUSTRI MUSIK TAK JELAS, BAND-BAND LABEL BUBAR !

Amboi coi-coi, ini bukan mengajak masyarakat band Indonesia untuk pesimis terhadap apa yang sedang diperjuangkannya saat ini, tapi wacana permenungan sepertinya perlu disaat-saat seperti sekarang.
Setelah ratusan label terpaksa tutup pabrik gara-gara hancurnya penjualan kaset dan CD, kini giliran band-band Indonesia yang terpaksa tutup proyek alias bubar.

Eksekutif Produser sementara tak mau mendanai produksi rekaman band karena dianggap belum waktunya dan sedang bukan trendnya. Bukan hanya itu, saat ini, sejumlah management artis nampaknya sedang ampun-ampunan gara-gara sulit sekali mendapatkan job panggung untuk mereka. Yap, walhasil, band-band itu nganggur berjama'ah. Mereka yang punya otak inovatif mencoba mencari peluang proyek lain : entah sebagai komposer, entah sebagai director, entah maen film, entah buka restoran, entah jualan kaos. Kacaunya, salah satu nasib personil band rock kenamaan ada yang lebih tragis : jaga warnet !

Berdasarkan amatan, babak belurnya Industri musik tanah air tidak lebih dari akibat kepanikan para pengusaha musik menghadapi gegap gempita teknologi yang bernama internet. Dalam semenit, ribuan band tanpa produser mendadak merilis single atau albumnya lewat reverbnation, facebook atau radio online. Dalam semenit RBT yang menjadi sumber balikan modal paling mungkin bagi produser, ternyata bisa dirilis band tanpa harus melalui mayor label tertentu. Akibatnya, para pengusaha musik yang masih bertahan dari kebangkrutan terpaksa hantam sana sini dengan berbagai cara tanpa peduli nasib industri musik secara makro. Boro-boro mikir nasib anak band dalam companynya, mikir nasib bagaimana supaya usahanya tidak tutup sepertinya memang harus jadi yang nomer satu.

Internet memang ibarat bom nuklir bagi industri musik dunia. Lewat media ini berbagai modus aksi pembajakan karya yang telah diberi bandrol harga terjadi. Produk fisik bernama kaset dan CD menjadi tidak laku karena manusia modern lebih menyukai file praktis berjuluk mp.3 yang bisa diselipkan dalam Handphone. Yap, sekarang ini memang super mudah mendapatkan mp.3 lagu-lagu populer di internet dengan gratis karena Majelis Pembajak Nasional telah menyediakannya dalam situs mereka.

Sebaliknya, bagi band-band tanpa label, justru internet adalah power yang ampuh untuk dijadikan media promosi gratis. Tak perlu bayar untuk tampil di TV karena masyarakat sekarang ini memang jarang nonton TV dan lebih banyak menghabiskan waktunya di internet. Cukup upload mp.3 di 4shared, upload video di Youtube, update terus facebook maka promosi dan eksistensi telah menyebar secara nasional, bahkan tanpa batas. Lahirnya internet telah membuat kedudukan sama rata antara mayor label, minor label, indie label maupun no label. Di lapangan, banyak sekali ditemukan band yang mengaku berada dibawah label tertentu tapi justru manggung di event komunitas. Jelas ini sesuatu yang aneh mengingat selama ini event komunitas menjadi lapak aksi bagi band-band non label. Di lain pihak, band-band yang terlanjur dikenal luas sebagai band label memasang gengsi, tak mau turun pangkat untuk sekedar main gratisan di event-event semacam itu.

Nasib industri musik nasional memang sedang terjerumus habis. Tidak ada lagi satu event penghargaan musik nasional yang benar-benar bergengsi dan punya kharisma seperti era-era 80 sampai 90-an. Dalam sebuah diskusi, seorang pengamat berkata sinis " Apanya yang mau dihargai jika memang tidak ada yang berharga lagi di industri musik saat ini ?".

Kini, kepanikan para pengusaha musik menghadapi era internet telah melahirkan kondisi yang menyulitkan bagi pergerakannya sendiri. Bisnis musik yang harusnya dilakukan dengan strategi-strategi terencana, kini mendadak seperti bisnis valuta dengan tingkat spekulasi tinggi. Bisnis model "membaca arah angin" ini tentu juga berdampak besar bagi unsur-unsur di industri musik, salah satunya bagi band. Trend jadi-jadian yang melahirkan eforia boyband dan girlband makin menggulung eksistensi band-band yang terlanjur terikat kontrak dengan label. Mereka tertahan untuk merilis album karena label memilih menjual apa yang dianggap sedang laku saat ini. Tidak tanggung-tanggung, ada kalanya ketertahanan ini bisa terjadi dalam waktu yang tidak ditentukan (sesuai kesepakatan dalam kontrak). Inilah yang dicurigai sebagai penyebab terbesar lenyapnya band-band populer dari industri tanah air.

Di permukaan, bisa saja band-band itu menjadikan problem pribadi sebagai alasan berakhir : pengen solo karirlah, mengerjakan proyek rohanilah, sudah tidak ada kecocokan satu sama lainlah, salah satu personil terlibat narkobalah, sibuk binis butiklah, dsb dll dst. Lebih dari alasan itu semua, bisa jadi ini hanyalah salah satu kamuflase bagi band-band tersebut untuk melepaskan diri dari kontrak yang sebelumnya asal ditanda tanganinya. Suatu kontrak yang ternyata dikemudian hari menyebabkan mereka tidak bisa berkutik banyak atas kebijakan label. Mereka tak akan pernah berani blak-blakan mengingat resiko black list bisa saja menimpa di kemudian hari, lebih-lebih disaat record company tinggal segelintir jumlahnya di negeri ini.

Satu pernyataan menarik pernah diutarakan secara jantan oleh band rock asal Bandung PASS band di detik-detik kebubarannya" Kami bubar karena setelah sekian lama menunggu, industri musik tanah air tidak kunjung sembuh ".

No comments: